Game Paling Mengecewakan di Generasi Gaming Saat Ini

Hampir delapan tahun sepak terjang Playstation 3, Xbox 360, Wii, dan PC memang telah melahirkan begitu banyak game yang luar biasa. Kualitas yang tidak hanya menjadi penentu bagi masa depan franchise yang memang sudah dikenal cukup lama, tetapi juga kelahiran beberapa seri baru yang berpotensi untuk terus berlanjut di masa depan. Beberapa cukup menggugah, bahkan menentukan sebuah standar baru yang belum pernah dicapai oleh game-game yang lahir di generasi sebelumnya. Perpaduan teknologi dan hasrat ini memang menjadi semangat utama, sekaligus menjadi pondasi untuk generasi selanjutnya yang ditandai dengan rilis Playstation 4 dan Xbox One ke pasaran. Sayangnya, tidak semua hadir dengan kesan yang sama.
Industri game bukanlah sebuah roda bisnis yang sempurna. Terkadang, ada banyak publisher yang lebih mementingkan kuantitas dan meluncurkan sebuah game secepat mungkin ke pasaran tanpa kontrol kualitas yang memadai. Beberapa lainnya jatuh pada pusaran mainstream, menjajal sebuah kesempatan yang sebenarnya tidak cocok untuk franchise yang mereka usung atas nama “popularitas”. Tidak sedikit game-game yang justru tampil sangat mengecewakan, apalagi setelah antisipasi besar yang sudah terbangun selama berbulan-bulan hingga tahunan. Tidak sedikit game di generasi ini yang dikritik pedas karena hal ini. Sebuah proses yang kita harapankan tidak akan lagi terjadi di masa depan.
Setelah JagatPlay sempat membahas 30 game terbaik yang pernah dirilis ke pasaran untuk generasi gaming saat ini, tidak ada momen yang lebih tepat selain menemukan sang kubu “berlawanan” yang justru tampil sangat mengecewakan karena beragam alasan yang ada. Inilah 30  game paling mengecewakan yang sempat hadir di generasi gaming saat ini!

30. Crysis 2

crysis 2
Sebagai sebuah game FPS, Crysis 2 bukanlah sebuah game yang buruk. Bertahan dengan cita rasa seri eprtama, beberapa inovasi bahkan disuntikkan untuk membuat pertempuran dengan nanosuit ini jauh lebih bisa dinikmati. Lantas mengapa ia masuk ke dalam list ini? Tentu saja karena antisipasi yang besar setelah melihat sepak terjang seri pertamanya. Crysis pertama adalah sebuah game FPS yang begitu luar biasa, hingga membuat PC terkuat sekalipun bertekuk lutut di hari rilisnya. Sayangnya, harapan untuk menemukan fenomena yang sama justru tercederai di Crysis 2. Terlepas dari engine baru yang digunakan, Crytek – sang developer ternyata lebih memfokuskan diri untuk mengembangkan sebuah game yang juga bisa berjalan di konsol. Hasilnya? Sebuah “identitas” yang tercoreng begitu saja.

29. Lollipop Chainsaw

lollipop chainsaw
Suda51 adalah salah satu developer yang memang terkenal lewat ide-ide gila yang sering divisualisasikan dengan tema yang tidak biasa. Antisipasi mengalir setelah ia mengumumkan eksistensi Lollipop Chainsaw – sebuah game action yang akan memadukan sensualitas seorang cheerleader dan tentu saja, zombie. Sayangnya, eksekusi yang ditawarkan tidak sebaik yang dipikirkan. Terlepas dari temanya yang mungkin “sugestif”, Lollipop Chainsaw hanyalah sebuah game hack and slash standar tanpa pesona yang membuatnya terasa memorable. Suda51 seolah kehilangan sentuhan “khas”nya di sini, tentu saja selain di boss fight yang tetap jempolan.

28. Fast & Furious: Showdown

Fast and Furious Showdown (1)
Kesalahan besar memang untuk mengharapkan sebuah game adaptasi film yang bisa menggugah. Dari semua proyek seperti ini, hanya beberapa yang berhasil menawarkan kualitas yang pantas untuk dilirik. Namun di tahun 2013 ini, industri game baru kedatangan sebuah game adaptasi film yang pantas untuk dijadikan sebagai monumen bagaimana sebuah game adaptasi film seharusnya tidak dibuat. Benar sekali, kita membicarakan Fast and Furious: Showdown. Tidak hanya gameplay repetitif, voice acts buruk, mekanik membosankan, dan sound effect yang garing, game yang satu ini juga mengusung kualitas visualisasi tak ubahnya sebuah game dari satu atau dua generasi sebelumnya. Mimpi buruk.

27. Ridge Racer: Unbounded

Ridge Racer - Unbounded (10)
Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi para penggemar game racing, apalagi mereka yang sempat mencicipi Ridge Racer di masa lalu, bahwa franchise kesayangan mereka ini akhirnya dilahirkan kembali lewat sebuah seri baru – Unbounded. Sayangnya, alih-alih bertemu dengan identitas Ridge Racer klasik yang selama ini mereka kenal, Unbounded justru terasa sebagai sebuah game racing arcade yang benar-benar berbeda. Bahkan jauh lebih pantas untuk menyebut game ini sebagai “Burnout-wannabe” yang sayangnya, gagal. Mengecewakan? Tentu saja.

26. Ride to Hell: Retribution

Ride to Hell - Retribution (74)
Jika ada satu game yang mampu menyaingi mimpi buruk yang ditawarkan oleh Fast and Furious: Showdown, maka Ride to Hell: Retribution menawarkan kualitas yang tidak banyak berbeda. Setelah sempat ditunda beberapa kali, game ini akhirnya “dipaksakan” rilis dengan kualitas yang cukup untuk membuat game sekelas Duke Nukem Forever tak ubahnya game AAA yang jauh  lebih menarik untuk dimainkan. Mekanik battle yang begitu kaku dan “mati”, voice acts kacangan, desain karakter yang buruk, cerita tanpa dasar, segudang bug dan glitches, dan terasa sedikit sexist, membuat game ini tampil sebagai salah satu yang terburuk di tahun 2013 ini. Duka mendalam bagi semua gamer yang sempat tertarik untuk membli versi orignalnya.

25. Too Human

too human
Membayangkan sebuah konsep perang Dewa Nordic yang divisualisasikan sebagai entitas dengan teknologi tinggi tentu saja menjadi sesuatu yang menarik untuk ditunggu. Apalagi mengingat statusnya sebagai salah satu game rilis perdana di Xbox 360. Ekspektasi begitu besar meluncur pada proyek “Too Human”, sebuah game action RPG yang justru melenceng dari semua ekspektasi yang selama ini dikorbarkan lewat serangkaian publikasi. Hambar dengan gaya action RPG yang tidak menggugah sama sekali, Too Human membuat banyak gamer yang begitu bersemangat menyambutnya, terpaksa menelan pil yang teramat pahit.

24. Army of Two: Devil’s Cartel

Army of Two The Devil Cartel (114)
Industri game adalah sebuah “organisme” yang terus tumbuh dan  berkembang. Terlepas dari pembagian genre yang mendefinisikan mekanik gameplay seperti apa yang ditawarkan oleh masing-masing franchise, banyak developer yang tidak lagi tertarik untuk mengacu pada hal tersebut. Game-game tidak lagi hanya merujuk pada satu genre, namun kini dipadu-padankan untuk menghasilkan  pengalaman yang jauh lebih kaya dan adiktif. Permasalahan itulah yang meliputi rilis Army of Two: Devil’s Cartel. Ketika franchise kompetitor mulai beralih menuju gameplay yang lebih kompleks, game ini ditawarkan sebagai sebuah game standar third person shooter yang hanya meminta Anda untuk membunuh setiap musuh yang Anda temui dan berlanjut ke area selanjutnya, terus-menerus. Dengan minimnya dramatisasi dan cerita yang kuat, konsep seperti ini tidak lagi relevan.

23. Call of Duty: Black Ops – Declassified

Call of Duty Black Ops II Declassified (2)
Call of Duty adalah salah satu game FPS terbaik di industri game, setidaknya jika Anda membahas seri-serinya yang memang diluncurkan untuk konsol dan PC. Namun di Declassified, sebuah proyek yang diluncurkan untuk PS Vita, Call of Duty akhirnya juga pantas untuk disebut sebagai salah satu game FPS terburuk yang pernah dirilis. Declassified memuat semua elemen yang seharusnya tidak ditawarkan sebuah game FPS. Tidak ada plot yang kuat, permainan yang melompat dari satu chapter ke chapter lainnya, dan multiplayer online yang sama sekali tidak bekerja menjadi mimpi buruk. Apalagi mengingat betapa miskinnya game-game eksklusif PS Vita saat ini. Seperti menabur garam di atas luka.

22. RE: Operation Raccoon City

Resident Evil Operation Raccoon City (70)
Bermain peran sebagai pasukan khusus Umbreall Corp? Para penggemar Resident Evil tentu saja sangat gembira dengan berita yang satu ini. Konsep inilah yang berusaha diwujudkan oleh Capcom di RE: ORC, yang sayangnya berakhir sangat mengecewakan. Terlepas dari nuansa nostalgia yang muncul dari kehadiran kembali setting-setting yang dibawa dari seri RE 1 – 3, ORC menjadi game third person shooter berbasis team yang dangkal. Monoton, repetitif, mekanik kontrol yang menyebalkan, AI musuh yang sulit tewas, dan beragam mekanik yang berada di bawah standar bagaimana sebuah game third person shooter seharusnya dikembangkan justru mengemuka. Sebuah potensi yang tidak bisa dimanfaatkan secara optimal.

21. God of War: Ascension

God of War - Ascension (227)
Memaksakan diri, kata yang ini mungkin cocok untuk menggambarkan God of War: Ascension – produk terbaru Sony Santa Monica di tahun 2013 ini. Seri prekuel yang menceritakan kisah Kratos di awal perjalanannya mencari keadilan dan balas dendam ini ternyata tidak sebaik yang dibayangkan. Alasannya? Karena God of War 3 yang notabene seharusnya sudah menutup franchise ini, tampil dalam kualitas yang akan sulit ditundukkan. Pertempuran masif dan epik yang ditawarkan seri tersebut memang bukan hal yang mudah untuk dilampui. Hasilnya? Anda akan secara konsisten membandingkan keduanya. Cerita yang kurang kuat, battle yang kurang epik, dan kelemahan di sisi cerita menjadi catatan tersendiri. Sony seharusnya tidak pernah melahirkan seri ini dan membiarkan franchise ini didefinisikan oleh God of War 3 sebagai seri penutup yang luar biasa.

20. Asura’s Wrath

asura wrath
Membayangkan dir bertempur dengan satu musuh yang bahkan lebih besar dari dunia sendiri? Berkesmepatan menjajal perang sebagai tokoh dari mitologi Timur dan bukan lagi Barat? Pertarungan kelas berat antar para dewa yang terlihat seperti hidup di zaman Steampuk dengan teknologi yang luar biasa?  Jika “iya” merupakan jawaban Anda untuk semua pertanyaan di atas, maka proyek Capcom – Asura’s Wrath memang terlihat menawan, apalagi melihat beragam teaser dan trailer awal yang mereka rilis. Namun hasilnya? Justru bertolak belakang dengan apa yang selama ini dipikirkan. Alih-alih ditawarkan sebagai sebuah game action, Asura’s Wrath ternyata mengusung genre interactive story sekelas Heavy Rain atau Beyond: Two Souls. Terlepas dari visualisasi sinematik yang epik di setiap chapter, hampir tidak banyak yang Anda lakukan selain menekan tombol yang Anda temuka di layar kaca. Sangat disayangkan.

19. Sim City

SimCity2 (24)
DRM adalah musuh semua gamer. Menariknya? Ada begitu banyak developer yang seolah tidak sadar dengan persepsi umum yang satu ini. Tidak hanya sekedar mencegah pembajakan, DRM justru lebih sering menjadi bumerang untuk para gamer yang berkutat dengan game-game orignal, seperti yang terjadi dengan Sim City terbaru di tahun 2013 ini. Kebutuhan untuk always-online ternyata mengudang masalah besar. Kesibukan server di awal membuat jutaan gamer di seluruh dunia tidak dapat mengakses kota mereka sejak hari pertama rilis. Tidak hanya itu saja, terlepas dari klaim bahwa DRM menyediakan fitur kota yang lebih dinamis,  pengalaman kami memainkan Sim City tidak membuat fitur tersebut terlihatn signifikan. Kota yang memiliki ruang terbatas untuk berkembang juga menjadi masalah lain. Seandainya saja mereka bisa bertahan dengan format lama.

18. The Bureau: XCOM Declassified

The Bureau XCOM Declassified (67)
Semakin ditunda sebuah game, semakin buruk kualitasnya. Kesimpulan yang satu ini tampaknya menjadi pemandangan umum yang acapkali terjadi selama beberapa tahun terakhir ini. Bureau: XCOM Declassified adalah salah satu contoh yang paling jelas. Beberapa kali mengalami penundaan, perubahan gaya gameplay, bahkan nama – The Bureau justru hadir dengan kualitas yang pas-pasan dan tidak sebanding dengan sang seri strategi XCOM: Enemy Unknown. AI yang buruk dan mekanik gameplay umum yang justru lebih banyak meninggalkan masalah menjadi catatan besar. Sebuah konsep baik yang tidak tereksekusi dengan sempurna.

17. Call of Juarez: The Cartel

the cartel
Jika kita membicarakan Call of Juarez, maka pikiran kita tentu akan langsung menuju pada segudang seri yang menjadi dunia liar para koboi sebagai tema utama. Hal inilah yang selalu pantas untuk diantisipasi darinya. Sayangnya, entah apa yang merasuki sang developer – Techland ketika merilis The Cartel dua tahun yang lalu. Jatuh pada tren mainsteam dan seolah ingin merepresentasikan kualitas Call of Duty, Call of Juarez: The Cartel justru lebih memilih untuk menjadikan dunia modern sebagai setting utama. Pertempuran besar melawan para geng narkoba membuat semua pengalaman ini hambar, apalagi dengan susunan plot yang tidak terlalu menggugah. Untungnya, kekecewaan ini cukup terbayar manis lewat “Gunslinger” yang membawa koboi kembali sebagai tema utama.

16. Ninja Gaiden 3

ninja gaiden 3
Sulit, menantang, dan hampir mustahil untuk diselesaikan – ketiga persepsi inilah yang mungkin akan terus menghantui semua gamer yang sempat menjajal seri Ninja Gaiden 1 dan 2 beberapa waktu yang silam. Tidak seperti game hack and slash biasa, Anda tidak bisa hanya sekedar memukul membabi-buta untuk memenangkan game yang satu ini. Memilih timing yang tepat, melancarkan kombo dengan sabar, dan kecekatan tangan adalah syarat yang paling utama. Sayangnya, identitas ini seolah dihancurkan begitu saja lewat kehadiran Ninja Gaiden 3 – yang diakui Koei, memang ditujukan untuk menjaring lebih banyak “core” gamer dan bukan lagi sekedar hardcore. Menjadi jauh lebih mudah, jatuh pada tipikal game hack and slash yang stylish, tidak lagi menantang dan hanya meminta Anda untuk menekan tombol kombo yang sama berulang-ulang, Ninja Gaiden 3 mencederai semangat franchise yang selama ini sudah terbangun dengan susah payah.

15. Homefront

homefront2
Pertempuran melawan Korea Utara yang akhirnya mendapatkan suksesi kepemimpinan dinasti? Homefront mungkin memprediksi “masa depan” dengan sangat akurat, namun sayang tidak cukup kuat untuk tampil memesona. Lupakan dahulu soal kualitas visualisasi yang berantakan dengan segudang efek visual generasi sebelumnya, karena game ini masih memiliki banyak masalah yang lain. Gameplay repetitif, AI yang scripted, voice acts yang datar, dan beragam bug – glitches menjadi menu andalan yang akan membuat pengalaman bermain Anda , jauh dari kata “baik”. Homefront menawarkan sebuah tema yang unik, tapi gagal di ekskusi utama.

14. Never Dead

neverdead
Pernah membayangkan jika Anda berperan sebagai karakter utama yang abadi dan tidak perlu berhadapan dengan kematian? Lost Odyssey – salah satu JRPG dari Xbox 360 mengeksekusi hal tersebut dengan sangat sempurna. Dengan konsep yang hampir serupa pula lah, Konami memperkenalkan sebuah game third person shooter yang baru – Never Dead. Karakter utama Anda tidak bisa tewas. Setiap damage akan membuat tubuhnya termutilasi, dan membuat Anda harus menumbuhkan atau menghubungkan anggota tubuh yang lain untuk dapat terus hidup. Sayangnya, hal ini justru menjadi blunder. Kontrol yang tidak nyaman, tubuh yang secara konsisten terpotong karena damage kecil, hingga desain karakter yang aneh membuat Never Dead tampil sebagai sebuah produk gagal. Bagian terbaik dari game ini? Tentu saja OST – Never Dead yang dinyanyikan oleh band metal legendaris – Megadeth. Selain itu? Tidak ada.

13. Alone in the Dark V

alone in the dark b
Hadir di awal-awal perilisan Playstation 3 dan Xbox 360 di masa lalu, seri terbaru Alone in the Dark ini memang sempat mendapatkan pujian atas kualitas visualisasi yang begitu luar biasa di kala itu. Tidak hanya itu saja, ia juga dikembangkan dengan sejumlah konsep gameplay yang inovatif untuk mengejar level realisme tersendiri. Konsep yang justru membuatnya sulit untuk dinikmati. Tingkat kesulitan yang terlampau sulit, kebingungan akan apa yang seharusnya Anda lakukan untuk memicu progress cerita, hingga kesan horror yang tidak lagi kentara membuat proyek ini dicerca, terutama bagi mereka yang sempat mencicipi franchise ini di masa lalu.

12. Dungeon Siege III

dungeon siege 3
Melenceng dari pesona yang selama ini membuatnya dikenal, campur tangan Square Enix di Dungeon Siege III mungkin membuat seri ini terlihat menarik untuk para gamer yang belum pernah mengenal nama ini sebelumnya. Namun fakta bahwa ia ditawarkan dalam format gameplay yang terasa tertutup, sederhana, dengan tingkat kesulitan yang tidak menantang sama sekali benar-benar mencederai apa yang seharusnya mampu dihasilkan dari sebuah game Dungeon Siege. Seolah semua prestasi dan identitas yang terbangun di seri-seri sebelumnya tidak menjadi bahan pertimbangan tersendiri bagi Square Enix ketika merilis game yang satu ini. Mengudang banyak tanda tanya apa yang sebenarnya tengah mereka pikirkan.

11. Medal of Honor

medal of honor
Dengan gelombang peran modern yang dikobarkan Call of Duty: Modern Warfare beberapa tahun sebelumnya, EA akhirnya memutuskan untuk melahirkan kembali sang franchise kompetitor – Medal of Honor dengan gaya yang sama. Hasilnya? Tidak sebaik yang dibayangkan. Terlepas dari beberapa karakter ikonik yang mereka tawarkan, Medal of Honor gagal menawarkan sensasi sinematik yang membuatnya memorable seperti Call of Duty. Tidak hanya itu saja, serangkaian glitch dan mekanik yang ditawarkan juga terasa begitu datar, bahkan di seri kelanjutannya sekalipun. Seandainya saja mereka tetap mempertahakan identitas franchise ini untuk perang dunia kedua, hasil yang dicapai mungkin tidak akan “sekeras” ini.

10. Dragon Age 2

dragon age 2
Dragon Age: Origins adalah salah satu WRPG terbaik yang pernah hadir di industri game. Sentuhan ajaib Bioware berhasil menghasilkan sebuah game yang mampu memadukan cita rasa strategi yang kental, menantang, dengan segudang side quest yang luar biasa, kebebasan membangun karakter dan cerita, serta susunan cerita yang terhitung “manis” untuk dijadikan sebagai sebuah pondasi franchise yang akan hidup berkepanjangan. Antisipasi begitu besar ketika Bioware mengumumkan dan memperkenalkan Dragon Age 2. Namun hasilnya? Justru bertolak belakang dengan sebagian besar elemen yang membuat Origins begitu dicintai. Cita rasa action yang lebih kentara, sudut pandang karakter yang tidak lagi strategis, serta kesempatan menciptakan karakter bebas yang kian tertutup menjadi catatan besar.  Fakta bahwa semua perjalanan Anda hanya berfokus di satu kota juga mengecewakan. Why Bioware? Why?

9. Spore

spore game
Ketika pertama kali diperkenalkan, Spore adalah sebuah proyek simulasi hidup yang begitu ambisius. Bagaimana tidak? Anda berkesempatan untuk menjalani hidup sebagai sebuah organisme sel tunggal yang terus berevolusi dalam hukum alam, dan akhirnya menjadi spesies yang cukup pintar untuk membangun peradaban dan menguasai semesta itu sendiri. Menjalani hidup dalam simboisis dengan spesies lain atau berperang terbuka dengan mereka, kompleksitas inilah yang membuat Spore begitu dinantikan. Hasil akhirnya? Melenceng dari apa yang diperkirakan. Untuk menjangkau pasar yang lebih luas, EA justru menghasilkan sebuah game simulasi sederhana beranggotakan makhluk-makhluk aneh yang tidak lagi terasa relevan.

8. Final Fantasy XIII

lightning
Final Fantasy adalah JRPG, dan JRPG adalah Final Fantasy, persepsi inilah yang sudah terbangun manis selama lebih dari satu dekade terakhir ini. Kualitas yang secara konsisten ditawarkan Square Enix di setiap seri, baik dari sisi cerita, karakter, musik, hingga desain gameplay membuat setiap serinya sangat diantisipasi. Hal yang tidak banyak berbeda juga terjadi di Final Fantasy XIII. Namun selain kualitas visual yang luar biasa di kala itu dan pertempuran yang berjalan dinamis, FF XIII tidak terasa seperti sebuah seri JRPG yang  memadai. Datar, repetitif dimana Anda akan lebih banyak berjalan dari satu pertarungan ke pertarungan lain, tanpa kota, tanpa NPC, desain side-quest yang tidak menggugah, serta cerita yang membingungkan menjadi catatan besar. Reaksi negatif gamer bertebaran, menuduh FF XIII melenceng dari standar FF yang selama ini memang begitu luar biasa.

7. Assassin’s Creed 3

Assassin's Creed 3  (111)
Assassin’s Creed 3 adalah salah satu seri Assassin’s Creed terbaik yang pernah dirilis ke pasaran, tidak ada yang bisa membantah hal tersebut. Kesempatan untuk bertempur dengan kapal, desain setting dan karakter baru dengan kemampuan yang lebih menyegarkan, dan pertarungan dengan tomahawk yang brutal membuat seri ini tampil begitu luar biasa. Lantas mengapa ia masuk ke dalam list ini? Karena statusnya sebagai penutup trilogi yang direpresentasikan oleh karakter Desmond Miles yang memang menjadi fokus cerita selama ini. Terlepas dari aksi Connor yang luar biasa, Ubisoft tampaknya tidak berpikir panjang soal bagaimana menutup akhir cerita Desmond sendiri. Ras alien, kehancuran dunia, dan ending yang “begitu saja”. Seriously? Seriously??!

6. Aliens: Colonial Marines

Aliens-Colonial-Marines-211-512x288
Sempat beberapa kali ditunda, terancam dibatalkan, dan akhirnya dilanjutkan kembali, Aliens: Colonial Marines memang seharusnya terkubur dalam-dalam di barisan game yang tidak pernah dirilis. Antisipasi yang begitu tinggi, apalagi mengingat sepak terjang sang developer – Gearbox yang tidak bisa dipandang sebelah mata justru menghasilkan kekecewaan yang begitu besar. Visualisasi ala generasi sebelumnya, glich dan bug dimana-mana, gameplay yang datar, dan atmosfer alien yang sama sekali tidak tertangkap menjadi alasan yang kuat mengapa game yang satu ini pantas untuk dikategorikan sebagai salah satu rilis terburuk sepanjang masa. Sebuah blunder besar dari Sega.

5. Red Alert 3

red alert 3
Berapa banyak dari Anda yang tumbuh besar dengan Red Alert 2 sebagai salah satu game RTS yang secara berkala dimainkan? Kami juga termasuk di dalamnya. Pesona yang begitu besar membuat game ini begitu populer, dengan beragam musik, karakter, dan unit ikonik yang fantastis dan seimbang di saat yang sama. Berangkat dari persepsi inilah, Red Alert 3 disambut. Kehadiran unit baru – Jepang sebagai konsekuensi plot yang baru membuat pertempuran antara tiga faksi ini memanas. Namun terlepas dari visualisasi yang luar biasa, Red Alert 3 bukanlah seri Red Alert yang selama ini kita inginkan. Usaha untuk bertahan di akar memang pantas untuk diacungi jempol, namun EA gagal menawarkan gameplay yang seimbang, terutama fakta bahwa Jepang ditawarkan sebagai faksi yang cukup Over-power dibandingkan dengan faksi yang lain. Menihilkan potensinya sebagai sebuah game RTS kompetitif.

4. Fable 3

fable 3
Kebebasan untuk tidak hanya membangun karakter, tetapi juga dunia yang Anda tempati lewat beragam aktivitas yang menyangkut pilihan moral – baik dan benar membuat Fable tampil sebagai salah satu game WRPG terbaik di pasaran, setidaknya hingga dua seri pertama. Fable 3 memang berusaha menawarkan sensasi yang serupa, namun ekskusinya tidak sebaik yang dibayangkan. Anda justru harus disibukkan dengan begitu banyak hal remeh-temeh dan side quest yang tidak penting yang menyita waktu Anda, mengalihkan Anda dari misi yang sebenarnya, tetapi di saat yang sama – tidak menggugah dan monoton. Fable 3 menjadi sebuah seri yang tidak pernah diimpikan dan diinginkan oleh penggemar Fable manapun.

3. Duke Nukem Forever

duke nukem
Apa yang Anda harapkan dari sebuah game yang sudah dibangun selama belasan tahun? Dengan proses pengembangan sepuluh kali lipat lebih lama dari sebagian besar game, kita tentu saja mengharapkan sebuah game dengan kualitas yang juga sepuluh kali lipat lebih baik. Namun hasilnya? Salah satu game terburuk sepanjang sejarah. Duke Nukem Forever mungkin menjual karakter Duke Nukem yang ikonik dengan baik, namun gagal di semua elemen ekstra yang lain. Visual yang ketinggalan zaman, konten-konten tidak pantas yang justru membuat pengalaman menjadi canggung, dunia yang begitu datar dan kering, gameplay yang repetitif, dan konsep yang tidak lagi relevan di industri gaming saat ini. Ia mungkin akan tampil memesona jika dibangun 10 tahun yang lalu. Namun di tahun 2011? Sama sekali tidak memenuhi antisipasi yang ada.

2. Diablo III (PC)

diablo 3
Jutaan gamer PC di seluruh dunia sudah pasti pernah menghabiskan waktu yang begitu banyak di Diablo II, menjajal beragam kelas dan membangun karakter unik dengan kebebasan yang hampir mutlak. Dengan proses pengembangan yang begitu lama, sensasi serupa inilah yang diharapkan ketika Blizzard akhirnya merilis Diablo III ke pasaran via PC. Tapi apa yang gamer dapatkan? Sebuah game yang membutuhkan koneksi always-online, dengan gameplay yang tidak lagi memberikan kebebasan apapun dan hanya berfokus pada kombinasi skill, gameplay yang pendek, sistem Auction House yang bergeser menjadi misi utama, dan varian equipment yang sudah tidak lagi begitu memesona. Sensasi menantikan game ini selama satu dekade terakhir jauh lebih memorable daripada memainkan gamenya sendiri.

1. Resident Evil 6

Resident Evil 6 (109)
Semakin jauh melenceng dari akar yang selama ini membuatnya dinikmati, Capcom tampaknya sudah kehilangan akal untuk membawa franchise survival horror andalanya – Resident Evil ke kualitas masa lampau. Terus dikritik karena sensasi action yang kian kentara, Capcom memang sempat menjanjikan atmosfer horror yang lebih baik di seri keenam. Tidak hanya itu saja, mereka juga menawarkan jalinan tiga karakter untuk menawarkan daya tarik di sisi cerita, yang ketiganya akan bergabung dalam satu benang merah cerita yang sama. Namun semua klaim ini hanya tinggal omong kosong belaka. Resident Evil 6 justru semakin memperkuat citra game actionnya dan melenceng dari apa yang diinginkan oleh sebagian besar gamer penggemar franchise yang satu ini, apalagi dengan segudang QTE yang harus dieksekusi. Tidak hanya itu saja, sistem kamera juga menjadi masalah tersendiri. Alih-alih membentuk identitasnya sendiri dan bertahan dengannya, Resident Evil perlahan namun pasti, mulai bergeser menjadi sebuah game tipikal third person shooter yang begitu umum. Sangat mengecewakan.
Dengan peralihan ke konsol generasi selanjutnya – Playstation 4 dan Xbox One, para developer dan publisher memang memiliki potensi yang lebih besar untuk mewujudkan ide mereka dan memvisualisasikannya dengan lebih baik. Namun ada begitu banyak misteri di area ini. Dengan begitu banyak hal yang bisa diterapkan, bukan berarti idealisme akan menjadi poros penggerak. Sebagai sebuah bisnis, uang  masih menjadi kekuatan utama yang diperjuangkan dan bukan sekedar “apa yang dibutuhkan” oleh para gamer sendiri. Konsol generasi saat ini memang sudah menawarkan begitu banyak game mengecewakan sebagai sebuah standar. Sebuah monumen tentang apa yang tidak boleh lagi terulang di generasi selanjutnya.
Bagaimana dengan Anda sendiri? Dengan semua game generasi saat ini yang dirilis dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir ini, game apa yang menurut Anda paling mengecewakan? Dan tentu saja, mengapa? Feel free to comment and expand the list!




Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar